Sabtu, 31 Mei 2014

Tugu Dinamika Menuju Puncak

Foto pada 12 September 2013

Foto pada 23 Maret 2012
Di persimpangan antara Jl. HOS Cokroaminoto dengan Jl. Wolter Monginsidi, yang secara administratif berada di Kel. Darat Sekip, Kec. Pontianak Kota, Kota Pontianak, tepatnya di depan Pasar Mawar, berdiri sebuah tugu yang bentuknya cukup unik. Tugu tersebut berbentuk spiral yang didominasi warna hijau dengan puncak berupa lingkaran berwarna biru serta pondasi tugu berwarna putih. Tinggi tugu tersebut sekitar 6 meter.

Meskipun berbentuk unik, penampakan tugu ini tidaklah begitu mencolok. Baliho yang sangat besar dan sangat mencolok di dekatnya seolah-olah menutupi eksistensi tugu ini. Jadi, jangankan mengenalnya, mungkin banyak warga yang tidak menyadari keberadaan tugu ini. Ditambah, terdapat tempat pembuangan sampah di belakangnya yang berbau cukup tajam sehingga membuat warga enggan melintas di dekatnya.

Foto pada 12 September 2013
Setelah mendekati tugu tersebut, akan terlihat sebuah prasasti di bagian pondasinya dengan tulisan yang mulai samar. Maka baru kuketahui bahwa tugu tersebut bernama Tugu Dinamika Menuju Puncak yang melambangkan pergerakan pembangunan kota Pontianak serta dibagun sekitar tahun 1987. Secara lengkap, tulisanya seperti berikut:

 TUGU DINAMIKA MENUJU PUNCAK

   MELAMBANGKAN

   WARGA KOTA PONTIANAK
   YANG TERUS BERGERAK
   MEBANGUN KOTANYA
   MENUJU KOTA IDAMAN

     PONTIANAK AKHIR TH 1987


Foto pada 3 April 2014
Setidaknya, informasi itu saja yang kuperoleh. Tidak kutemukan informasi yang lebih detail mengenai sejarah tugu itu. Hal yang masih kuingat hanyalah, ketika awal dekade 1990-an, sebelum dijadikan taman dan tempat sampah, sekitar kawasan tugu tersebut adalah kawasan tempat parkir kendaraan untuk pengunjung Pasar Mawar.

Saya pribadi hanya berharap agar Pemkot Pontianak bisa menjadikan eksistensi tugu ini sebagai salah satu markah tanah yang menghiasi wajah Kota Pontianak, apalagi melihat letaknya di persimpangan jalan; misalnya dengan membongkar baliho, memindahkan tempat pembuangan sampah, serta diberi pencahayaan pada malam hari agar tampak mencolok. Jikalau perlu, diberikan keterangan lebih detail mengenai sejarah dan simbolisasi pada tugu tersebut.

Akan sangat disayangkan tentunya jika simbol pembangunan kota idaman ini justru tidak menjadi idaman warga kotanya sendiri.

Jumat, 09 Mei 2014

Pemakaman Muslim Jl. Meliau, Kota Pontianak

Di persimpangan Jl. H. Abbas dan Jl. Meliau yang secara administratif berada di Kel. Benua Melayu Darat, Kec. Pontianak Selatan, Kota Pontianak, terdapat lahan pemakaman Muslim yang sering kulewati sedari kecil. Namun, selama bertahun-tahun, pemakaman itu kulewati begitu saja. Hingga pada suatu hari, saya menjadi agak tertarik karena dari jauh tampah sebuah makam berwarna kuning dengan hiasan mahkota di atasnya. Selain itu nampak juga makam berwarna perak yang cukup terawat. Meski pada awalnya saya merasa takut memasuki kawasan pemakaman, rasa penasaran saya yang memuncak akhirnya menutupi rasa takut saya. Pada 2 Mei 2014, saya pun akhirnya memberanikan diri masuk dan mengambil beberapa gambar.

Sisi utara pemakaman
Secara umum, meskipun terletak di kompleks pemukiman penduduk, kawasan pemakaman ini tampak kurang begitu terawat. Tanahnya banyak ditumbuhi rerumputan serta becek. Hanya sedikit jalan setapak yang disemen. Saya pun mencoba berjalan menyusuri pemakaman dengan berhati-hati. Bukan karena takut air yang becek, namun takut kualat karena menginjak atau melangkahi makam orang lain.


Di bagian makam yang dibangun gubuk, terdapat belasan makam bernuansa warna perak. Makam di sini cukup terawat dibandingkan makam-makam lainnya. Di antara belasan makam itu, saya tertarik dengan makam di paling ujung dan paling besar. Di situ terdapat makam As-Sayyid Ahmad bin Husin Alkadrie yang wafat pada 21 Muharam 1324 H atau bersamaan 17 Maret 1906 M. Dari namanya, bisa disimpulkan bahwa ia masih kerabat Sultan Pontianak. Kemudian di sampingnya terdapat makam As-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Alhinduan yang wafat pada 2 Rabiul-awal 1370 H (bersamaan 12 Desember 1950 M). Tidak kuketahui siapa kedua tokoh ini, namun dilihat dari tanggal wafatnya, bisa disimpulkan bahwa pemakaman ini merupakan kompleks pemakaman tua yang telah ada sejak zaman kesultanan.

Makam As-Sayyid Ahmad bin Husin Alkadrie (kedua dari kiri) dan
Makam As-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Alhinduan (paling kanan)
Makam Pangeran Sri Sy. Abdul Fatah bin Sy. Hamid Alkadri
Kemudian, saya pun mendekati sebuah makam kurang terawat yang terletak di luar namun tak jauh dari gubuk itu. Yang membuat saya tertarik adalah warna kuningnya serta hiasan mahkota di atasnya. Setelah kuamati, makam itu adalah makam Pangeran Sri Sy. Abdul Fatah bin Sy. Hamid Alkadri yang wafat pada 30 Agustus 1990. Tidak kuketahui siapa beliau, namun yang jelas adalah kerabat dekat Sultan Pontianak karena bergelar Pangeran Sri.

Sisi selatan pemakaman
Keluar dari situ, terdapat sisi selatan yang dipisahkan oleh Jl. Meliau. Terdapat jalan yang disemen menuju gubuk lainnya. Saya pun tertarik untuk melihatnya. Saya pun semakin terkejut melihat banyak kerabat Alkadrie yang dimakamkan di situ. Umumnya, makamnya bernuansa kuning, bahkan ada beberapa yang dihiasi mahkota di atas makamnya, pertanda masih kerabat dekat Sultan. Di antaranya terdapat Pangeran Laksamana Sri Negara H. Syarif Machmud bin Sultan Sy. Yusuf Alqadrie. Jelas beliau adalah putra dari Sultan Pontianak ke-5.

Makam H. Syarif Machmud bin Sultan Sy. Yusuf Alqadrie (kiri atas)
Makam H. Syarif Husein bin H. Sy. Machmud Alqadrie (kanan atas)
Makam H. Sy. Machmudi bin H. Sy. Husein Alkadrie (kanan bawah)
Makam Pangeran Laksamana Sri Negara H. Syarif Machmud bin Sultan Sy. Yusuf Alqadrie (kiri)
Makam H. Syarif Husein bin H. Sy. Machmud Alqadrie (kanan)
Makam Syf. Seha binti Sy. Mahmud Al-Qadri
Tak jauh dari situ, yang lebih mencengangkan saya adalah makam Mas Ratoe Hadji Aminah binti Entjik Adjma'in. Gelar Mas Ratoe merupkan gelar bagi permaisuri di Kesultanan Pontianak. Dilihat dari tanggal wafatnya, 10 April 1930 M, bisa diperkirakan beliau merupakan permaisuri bagi Sultan ke-6. Sultan Syarif Mohamad Alkadrie.

Makam Mas Ratoe Hadji Aminah binti Entjik Adjma'in
Hal yang agak menjadi pertanyaan saya adalah mengapa tokoh sekelas permaisuri ataupun pangeran justru dimakamkan di pemakaman biasa yang berada di tengah-tengah pemukiman penduduk, atau istilah kasarnya adalah untuk rakyat jelata, padahal telah ada pemakaman khusus kerabat Kesultanan di Batu Layang, Pontianak Utara. Hingga kini, saya belum menemukan jawabannya.

Makam Mas Ratoe Hadji Aminah binti Entjik Adjma'in
Namun, menimbang terdapat makam tokoh-tokoh yang dihormati (yang mungkin telah dilupakan oleh generasi sekarang), termasuk beberapa makam yang berumur sudah sangat tua, bahkan nenek saya saja belum lahir, ada baiknya Pemerintah Kota Pontianak mengajak ahli-ahli sejarah untuk mempelajari sejarahnya untuk kemudian menjadi pertimbangan untuk menata kawasan seluas kurang lebih setengah hektar ini menjadi kawasan cagar budaya yang berpotensi sebagai wisata sejarah dan religi.