Sebagai bagian dari rangkaian peringatan Hari Pahlawan 10 November 2015, Presiden Ir. H. Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 5 (lima) orang tokoh nasional. Dengan demikian, Indonesia kini memiliki 168 Pahlawan Nasional. Berikut ini kelima orang tersebut.
Bernard Wilhem Lapian (1892–1977)
B.W. Lapian merupakan tokoh pejuang asal Minahasa, Sulawesi Utara. Ia berjuang di berbagai bidang, dari jurnalisme, agama, hingga politik, dan di berbagai zaman, dari zaman Belanda, Jepang, hingga kemerdekaan. Saat bekerja di Batavia, B.W. Lapian menulis artikel di surat kabar yang memacu nasionalisme. Ia juga dikenal sebagai salah satu pendiri Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) pada tahun 1933, sebagai Gereja yang mandiri dan independen, yang tidak dipengaruhi dan tidak bergantung pada Hindia Belanda. Di era Revolusi Kemerdekaan, ia dijebloskan ke penjara oleh Belanda karena menolak kembalinya Belanda di Manado, dan baru dibebaskan pada 1949 setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda. Ia kemudian dipercaya untuk menjabat Gubernur Sulawesi pada tahun 1950 hingga 1951. Atas sumbangsihnya, ia dianugerahi Bintang Mahaputera Pratama pada tahun 1975 oleh Presiden Soeharto.
B.W. Lapian merupakan tokoh pejuang asal Minahasa, Sulawesi Utara. Ia berjuang di berbagai bidang, dari jurnalisme, agama, hingga politik, dan di berbagai zaman, dari zaman Belanda, Jepang, hingga kemerdekaan. Saat bekerja di Batavia, B.W. Lapian menulis artikel di surat kabar yang memacu nasionalisme. Ia juga dikenal sebagai salah satu pendiri Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) pada tahun 1933, sebagai Gereja yang mandiri dan independen, yang tidak dipengaruhi dan tidak bergantung pada Hindia Belanda. Di era Revolusi Kemerdekaan, ia dijebloskan ke penjara oleh Belanda karena menolak kembalinya Belanda di Manado, dan baru dibebaskan pada 1949 setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda. Ia kemudian dipercaya untuk menjabat Gubernur Sulawesi pada tahun 1950 hingga 1951. Atas sumbangsihnya, ia dianugerahi Bintang Mahaputera Pratama pada tahun 1975 oleh Presiden Soeharto.
Mayjen TNI Mas Isman (1924–1982)
Mas Isman merupakan tokoh pejuang kelahiran Bondowoso, Jawa Timur. Di masa revolusi kemerdekaan tahun 1945, ia bergabung ke Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal bakal TNI. Setelah masa revolusi, Mas Isman terus berkontribusi bagi pembangunan di bidang pemberdayaan masyarakat, pendidikan, dan kemanusiaan. Di bidang politik, ia sempat dipercaya sebagai duta Indonesia untuk PBB (1958), Myanmar (1959), Thailand (1960–1964), dan Mesir (1964–1967). Ia juga sempat menjadi anggota DPR-RI pada tahun 1978 hingga akhir hayatnya. Salah satu peninggalan Mas Isman yang masih bertahan hingga kini adalah KOSGORO, organisasi yang berawal dari koperasi yang kemudian berkembang menjadi ormas yang bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan pemberdayaan masyarakat.
Mas Isman merupakan tokoh pejuang kelahiran Bondowoso, Jawa Timur. Di masa revolusi kemerdekaan tahun 1945, ia bergabung ke Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal bakal TNI. Setelah masa revolusi, Mas Isman terus berkontribusi bagi pembangunan di bidang pemberdayaan masyarakat, pendidikan, dan kemanusiaan. Di bidang politik, ia sempat dipercaya sebagai duta Indonesia untuk PBB (1958), Myanmar (1959), Thailand (1960–1964), dan Mesir (1964–1967). Ia juga sempat menjadi anggota DPR-RI pada tahun 1978 hingga akhir hayatnya. Salah satu peninggalan Mas Isman yang masih bertahan hingga kini adalah KOSGORO, organisasi yang berawal dari koperasi yang kemudian berkembang menjadi ormas yang bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan pemberdayaan masyarakat.
Komjen Pol. Dr. H. Moehammad Jasin (1920–2012)
Di masa Jepang, M. Jasin merupakan komandan kesatuan Tokubetsu Keisatsutai (Polisi Istimewa) bentukan Jepang di Surabaya. Setelah Republik Indonesia lahir pada tahun 1945, ia meproklamasikan satuan yang dipimpinnya sebagai bagian dari Kepolisian Indonesia, lepas dari pengaruh Jepang, bahkan memimpin pasukannya untuk melucuti senjata tentara Jepang. Kesatuan yang dipimpinnya kemudian bermetamorfosis menjadi satuan Brigade Mobil (Brimob) pada tahun 1946. Kegigihan M. Jasin membentuk Brimob kemudian membuatnya dikenang sebagai Bapak Brimob Polri. Di luar lingkungan kepolisian, M. Jasin pernah menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), anggota MPR, serta Dubes RI untuk Tanzania. Ia wafat di RS Polri Kramat Jati, Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata. Moehammad Jasin merupakan Pahlawan Nasional kedua yang berlatar belakang kepolisian setelah Aipda Karel Satsuit Tubun. Meskipun kelahiran Baubau, Sulawesi Tenggara, perjuangan M. Jasin yang sangat berpengaruh di Surabaya menjadikannya Pahlawan yang diajukan oleh Jawa Timur.
I Gusti Ngurah Made Agung (1876–1906)
I Gusti Ngurah Made Agung merupakan Raja ke-VII Kerajaan Badung di Denpasar, Bali, yang naik takhta pada tahun 1902. Selain sebagai Raja, ia juga seorang sastrawan yang banyak mengeluarkan karya sastra yang membangkitkan semangat perjuangan rakyat menentang pengaruh kekuasaan Hindia Belanda di Bali. Pemerintah Hindia Belanda kemudian melancarkan serangan militer pada tahun 1906. Raja I Gusti Ngurah Made Agung yang memimpin perang melawan Belanda kemudian gugur dalam medan peperangan yang dikenal dengan Puputan Badung itu. I Gusti Ngurah Made Agung merupakan Pahlawan Nasional ke-5 yang berasal dari Bali.
Ki Bagus Hadikusumo (1890–1954)
Ki Bagus Hadikusumo merupakan tokoh Muhammadiyah di Yogyakarta yang kemudian menjadi Ketua Muhammadiyah pada tahun 1942 hingga 1953. Ia turut berjuang mencapai kemerdekaan Indonesia di dalam BPUPKI yang kemudian menjadi PPKI. Di dalam badan itu, ia berperan menyumbangkan pikirannya dalam merumuskan Pembukaan UUD 1945. Setelah kemerdekaan dicapai, ia terus menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi negara, baik melalui berbagai karya tulis, maupun melalui lembaga formal dengan menjadi anggota DPR mewakili Masyumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar